Otokritik Perkaderan

Otokritik Perkaderan
Otokritik Perkaderan
Sebagai organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentunya tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan di internal, di samping kompleksitas permasalahan keumatan maupun kebangsaan yang juga menjadi bagian dari tanggung jawab moril Himpunan untuk segera direspon dan diformulasikan problem solving-nya. Bagi penulis, hal ini wajar dan selaras dengan hakekat kita semua sebagai manusia biasa, yang penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Dengan kata lain, terma sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan ini akan membawa konsekuensi logis pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Himpunan, baik secara internal maupun eksternal organisasi.

Meskipun demikian, hal ini lantas tidak dapat dijadikan sebagai apologi untuk membenarkan setiap kelemahan dan kekurangan itu, apalagi permasalahan-permasalahan tersebut berkenaan dengan eksistensi dan nama besar Himpunan. Sebagai makhluk yang berpikir, tentunya kita dituntut untuk terus melakukan perbaikan, inovasi, termasuk restorasi Himpunan ke arah yang ideal sesuai dengan tujuan HMI. Dari kompleksitas persoalan yang ada, kali ini penulis ingin menyoroti (sekaligus otokritik) terhadap salah satu permasalahan di internal Himpunan, antara lain soal tumpang tindihnya amanah, inkonsistensi, serta kejanggalan yang terjadi pada regenerasi kepengurusan di HMI.

Meskipun informasi mengenai pelantikan struktural Pengurus Besar (PB) HMI tidak se-booming fenomena Pilkada DKI Jakarta silam, tetapi penulis yakin bahwa sebagai anggota Himpunan, kita semua tentu tahu akan hal ini, bahkan (mungkin) mengikuti perkembangannya dari proses Kongres di Kota Ambon beberapa waktu yang lalu. 29 Maret 2018 adalah tanggal kepengurusan PB HMI periode 1439-1441 H/2018-2020 M disahkan dan diangkat sumpahnya di bawah Al-Qur’an. Untuk itu, penulis mengucapkan selamat dan semoga amanah.

Selanjutnya, jika HMI dikatakan sebagai organisasi kader, maka jelas segala bentuk kerja dan aktifitas yang ada di dalamnya mesti senantiasa dibingkai dan dimaknai sebagai proses perkaderan, tentunya dengan mengacu pada nilai-nilai doktrinal dan norma organisasi yang ada. Selain pada nilai dan norma organisasi tersebut, proses perkaderan yang ada di HMI juga kadangkala mengacu pada aspek historis dan kultural, bisa berupa pengalaman, fenomena dan sejarah yang dilakukan oleh para senior (preseden), maupun kebiasaan-kebiasaan internal yang berlangsung ajeg. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan analisa untuk memilah dan memilih mana yang sekiranya patut untuk ditiru atau diteruskan, dan mana yang harus ditinggalkan atau dieliminir. Mengingat hal ini juga berkaitan dengan interpretasi dan subyektifitas masing-masing personal.

Sehubungan dengan itu, penulis ingin mengkorelasikan kerangka pikir yang coba dibangun pada paragraf-paragraf sebelumnya, dengan fakta pelantikan kepengurusan PB HMI yang juga cukup terlihat meriah pada tanggal 29 Maret 2018 lalu. Sebagai salah satu anggota yang insyaAllah masih aktif ber-HMI, penulis ingin berbagi pikiran dengan kawan-kawan pembaca dan memberikan sedikit komentar mengenai salah satu fenomena yang juga cukup memberikan tanda tanya besar, khususnya bagi kader HMI se-lingkup Cabang Malang yang awam dan tidak paham dengan tetek bengeknya politik struktural di Himpunan ini. Tidak lain adalah perihal masuknya beberapa personel pengurus HMI Cabang Malang ke dalam struktural PB HMI yang dilantik pada tanggal 29 Maret 2018 lalu. Bagaimana tidak, HMI Cabang Malang sendiri sampai hari ini masih belum melaksanakan Pleno II dan Konferensi Cabang (Konfercab). Ya, Pleno II dan Konfercab yang penulis maksud (sesuai informasi) masih akan dilaksanakan masing-masing pada tanggal 6 dan 20 April 2018 mendatang. Singkat kata, beberapa personel pengurus HMI Cabang Malang yang namanya tercantum dalam Surat Keputusan (SK) tentang susunan kepengurusan PB HMI periode 1439-1441 H/2018-2020 M hari ini masih aktif menjabat, atau belum demisioner secara resmi. 

Fenomena ini tentunya dengan cepat bermetamorfosa menjadi polemik, khususnya di lingkup HMI Cabang Malang. Berbagai macam komentar diberikan oleh para anggota Himpunan, termasuk bahasa-bahasa sentilan sebagai salah satu bentuk respon atas polemik ini. Terlepas dari berbagai macam logika atau rasionalisasi yang mungkin akan dibangun, fenomena yang kemudian bermetamorfosa menjadi polemik ini tetap menjadi hal yang janggal. Menurut penulis, untuk melihat polemik ini cukup menggunakan logika yang simpel dan etika umum, tanpa harus berbelit-belit membedah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI perihal rangkap jabatan. Sebagaimana undangan pesan berantai yang sempat tersebar di media WhatsApp, meskipun belakangan diklarifikasi sebagai hoax. Khawatirnya, diskusi yang dimaksudkan bersifat konstruktif justeru pada akhirnya memperkeruh suasana. Oleh karena setiap orang (atau beberapa orang) tentu memiliki interpretasi yang berbeda-beda atas hal ini, bisa jadi kontradiktif atau saling bertolak belakang.

Sebagai Cabang terbesar yang menaungi 54 Komisariat penuh, maka bisa jadi polemik ini akan menjadi salah satu point pembahasan (jika tidak ingin dikatakan sebagai debat kusir) yang cukup menghabiskan waktu dan energi. Hal ini harus didiskusikan dan diselesaikan secara gamblang, mengingat beberapa hal yang telah disampaikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, tidak lain juga untuk meluruskan berbagai macam persepsi yang bergulir karena polemik ini. Di lain sisi, HMI Cabang Malang pun tidak bisa dianalogikan seperti politiknya ibu kota, kita bisa dengan cepat melejit ke puncak yang lebih tinggi, cukup dengan menutup kuping dan mengabaikan amanah yang masih belum selesai. Bagi penulis, hal ini cukup menjadi contoh yang tidak baik, apalagi HMI dalam posisinya sebagai organisasi kader, bukan organisasi politik yang lebih berorientasikan pada jabatan dan kekuasaan. 

Semoga saja tulisan singkat ini mampu memberikan sedikit gambaran kepada kita semua akan kondisi obyektif HMI Cabang Malang hari ini, dalam menjelang momentum Pleno II dan Konfercab mendatang. Karena menurut penulis, momentum Pleno II dan rangkaiannya yaitu Konfercab bukan hanya menjadi ajang pertanggungjawaban pengurus semata, melainkan harus dibarengi dengan lahirnya semangat baru serta formulasi-formulasi baru dalam rangka membawa HMI Cabang Malang ke arah yang lebih baik. HMI harus kembali dirasakan kehadirannya di tengah mahasiswa dan masyarakat, tidak melulu sibuk dengan urusan internal, apalagi soal politik strukturalnya. Semoga juga momentum Pleno II dan Konfercab mendatang mampu memberikan jawaban atas keresahan yang lahir dari polemik ini, sehingga tidak membawa efek domino yang berkepanjangan bagi HMI Cabang Malang ke depan. 

Penulis: Junaidi Doni Luli
Ketua Umum HMI Cabang Malang
Koordinator Komisariat UM
Periode 1439-1440 H/2017-2018 M

Post a Comment