Patronase, Kontradiksi antara Doktrin Indepedensi dan Fakta Senioritas

Patronase, Kontradiksi antara Doktrin Indepedensi dan Fakta Senioritas
Patronase, Kontradiksi antara Doktrin Indepedensi dan Fakta Senioritas
Pola relasi antar sesama manusia merupakan salah faktor bagi terbentuknya suatu budaya. Demikian pun halnya relasi dalam berorganisasi. Dengan merujuk pada nilai-nilai doktrinal, aturan-aturan tertulis serta termasuk pada kebiasaan internal, kultur suatu organisasi bisa terbentuk.

Selaras dengan itu, maka selain terikat pada aturan-aturan konstitusional, berjalannya roda suatu organisasi juga tidak dapat dilepas pisahkan dari kebiasan-kebiasan dalam organisasi tersebut, yang kemudian dianggap menjadi aspek kultural. Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin sedikit bercerita sekaligus (mungkin) berbagi pandangan dengan kawan-kawan pembaca, terkait sebagian aspek yang menjadi derivasi dari nilai-nilai doktrinal atas kontradiksinya dengan kondisi obyektif dalam suatu organisasi, yang penulis sendiri pun berada di dalamnya.

Ya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang penulis maksud. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang penulis ikuti sejak menyandang status sebagai mahasiswa, Himpunan ini telah memberikan begitu banyak pelajaran bagi pribadi penulis. Kedewasaan dalam menghargai perbedaan karakter dan gagasan, kemampuan dalam berdialektika, wadah untuk ikut serta dalam berpikir dan berkontribusi untuk kemajuan bangsa, termasuk sebagai wahana dalam berkonektifitas secara lebih luas.

PATRONASE SEBAGAI SUATU PERMASALAHAN

Sebagai organisasi yang menghimpun potensi serta gerakan mahasiswa dan mahasiswi yang beragama Islam, HMI pun tidak luput dari banyak permasalahan internal. Patronase, menurut penulis merupakan salah satu permasalahan yang tengah dialami oleh HMI hingga saat ini. Pola patronase antara senior (sebagai patron) dan junior (sebagai klien) tidak jarang mengakibatkan penegasian terhadap nilai-nilai doktrinal yang ada di dalam proses kaderisasi HMI (seperti: Nilai Dasar Perjuangan/NDP dan Mission HMI) itu sendiri.

Fakta di mana junior seringkali didikte oleh senior, termasuk dalam hal pengambilan kebijakan atau keputusan organisasi pun (menurut penulis) merupakan bagian dari gejala patronase itu sendiri. Sebagai junior, sepertinya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir, membuat kerangka analisa sendiri, termasuk berimprovisasi dalam menghadapi suatu kondisi untuk kemudian mengambil suatu keputusan secara independen. Hakekat independensi HMI (baik etis maupun organisatoris) yang didiskusikan dalam forum Basic Training pada akhirnya hanya menjadi pengetahuan belaka, karena jelas implementasinya akan tereduksi oleh bisikan bernada instruksi dari senior.

Tidak jarang pikiran dan gerakan yang semestinya independen dari para fungsionaris dan anggota Himpunan pada akhirnya tereduksi oleh (semacam) instruksi dan logika para senior. Menurut penulis, hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak fungsionaris dan anggota Himpunan kehilangan kemampuan rasionalitas, akal kritis dan analitis, serta semangat untuk berjuang. Sehingga tidak heran jika banyak pihak yang menilai bahwa HMI hari ini miskin dengan gagasan-gagasan konstruktif, semakin keringnya forum-forum intelektual, serta terdikotomisasi dari problematika keumatan maupun kebangsaan.

Kondisi ini pun secara implisit dapat dimaknai sebagai hilangnya esensi keberadaan HMI, antara lain sebagai organisasi kader yang bersifat independen, wadah di mana para anggota untuk belajar berdialektika, belajar untuk berpikir kritis dan analitis, serta solutif dalam merespon berbagai isu keumatan maupun kebangsaan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Anggaran Dasar (AD), khususnya pada Bab III (Tujuan, Usaha, dan Sifat) serta Bab IV (Status, Fungsi, dan Peran).

Di samping itu, pola patronase yang kental antara senior dan junior juga jelas akan mengganggu jalannya roda organisasi serta mengkontaminasi kemurnian dari proses kaderisasi yang ada di tubuh HMI. Dengan demikian maka, perlu kiranya ditata dan ditegaskan kembali mengenai posisi dan relasi antara senior dengan junior, yang sebetulnya lebih bersifat historis-aspiratif. Ketergantungan terhadap senior (termasuk perihal finansial) pun harus dikurangi. Karena biasanya, patronase berakar kuat melalui ketergantungan-ketergantungan semacam itu.

Meskipun keberjalanan roda suatu organisasi tidak dapat terlepas dari dukungan materiil, bukan berarti HMI harus selalu bergantung pada bantuan para senior. Mengingat di dalam tubuh HMI sendiri pun ada sumber daya yang bisa digerakkan, salah satunya adalah jiwa-jiwa enterpreneurship para anggota, yang bisa disalurkan lewat eksistensi Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi (KPP) atau sejenisnya. 

Dengan demikian maka, harapannya pola perkaderan HMI tidak monoton dan terjebak pada aktifitas kajian saja, tetapi juga disertai dengan aktifitas-aktifitas praktis yang bersinggungan langsung dengan bakat dan minat para anggota. Selain dalam rangka untuk memberikan soft skill kepada anggota sesuai dengan passion-nya masing-masing, namun juga secara tidak langsung membangun kemandirian Himpunan, termasuk dalam hal finansial. 

REAKTUALISASI HAKEKAT KEBERADAAN HMI

Perlu kiranya untuk digarisbawahi, bahwa tulisan ini lahir bukan berarti penulis anti terhadap senior, atau enggan berkomunikasi dengan senior. Bagi penulis, relasi dan komunikasi antara kita sebagai junior dengan para senior haruslah ditentukan batasannya secara jelas. Menjaga tali silaturrahim serta sharing and hearing seputar persoalan ke-HMI-an pun termasuk hal yang harus senantiasa kita lakukan. Namun, ketika masuk pada wilayah pengambilan keputusan, ini merupakan (mestinya) murni  menjadi domain kita (tanpa campur tangan senior) baik itu secara pribadi maupun organisatoris, tentunya sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan. Sehingga pertanggungjawaban atas suatu keputusan yang telah diambil pun menjadi lebih jelas. 

Dengan demikian maka, posisi dan peran senior disini tidak lain (dan tidak lebih) adalah sebatas memberikan motivasi, saran dan pertimbangan berdasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadinya. Inilah salah satu esensi dari pola hubungan yang bersifat historis-aspiratif antara fungsionaris dan anggota Himpunan dengan para seniornya. Nilai independensi yang telah ditegaskan dalam materi Mission HMI sebagai matra filosofis Himpunan, serta sebagaimana pula digariskan pada pasal 6 AD harus kembali direaktulisasikan secara murni. Mengingat independensi HMI inilah yang menjadi salah satu kebanggaan bagi para anggota Himpunan, termasuk menyelamatkan HMI dari badai sejarah ketika berhadapan dengan kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era kekuasaan Soekarno, ketika dituduh sebagai anak kandung dari Partai Masyumi.

Hakekat keberadaan HMI sebagai organisasi independen, sebagai organisasi mahasiswa, sebagai organisasi kader, sebagai organisasi perjuangan, dengan tujuan “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT” pun harus kembali direaktualisasikan secara murni dan konsisten. Di sisi lain, pola gerakan dan kaderisasi yang dilakukan oleh HMI mesti senantiasa di-upgrade agar tidak ketinggalan zaman. Hal ini dilakukan tidak lain adalah agar HMI tetap mampu berkontribusi untuk kemajuan umat dan bangsa, dalam era globalisasi dengan segala perubahannya yang begitu cepat. 

Pola relasi antara senior dengan para juniornya pun harus disertai dengan kesadaran, bahwa era di mana para senior tersebut ber-HMI sudah berbeda dengan era sekarang, demikian pula kondisi kemahasiswaan dengan segala bentuk tantangannya. Cerita atau sharing pengalaman antara senior dan junior dalam ber-HMI semestinya hanya diposisikan sebagai bagian dari referensi, diambil nilai, semangat dan strateginya untuk memperbaiki kondisi perkaderan yang hingga hari ini tengah menghadapi banyak persoalan. Karena berbicara soal kaderisasi dan regenerasi HMI, hal ini merupakan tanggung jawab moril kita semua, baik itu sebagai fungsionaris, anggota biasa, dan alumni. Tentunya selaras dengan koridor dan porsinya masing-masing. 

Catatan akhir dari tulisan ini, semoga untuk ke depan kita semua semakin sadar akan posisi masing-masing, baik itu sebagai fungsionaris, anggota biasa, maupun alumni. Sehingga HMI bisa berkembang sesuai dengan jiwa zaman, yang tentunya pula lebih diperankan oleh para junior sebagai generasi milenial. Posisi senior maupun alumni lebih kepada memberikan bantuan moril dan spiritual ketika dibutuhkan, tanpa disertai dengan tendensi, iming-iming atau pamrih. Hal ini dilakukan tidak lain adalah dalam rangka menjaga kewibawaan HMI, yang hari ini diperankan oleh para fungsionaris Himpunan.

Penulis: Junaidi Doni Luli
Ketua Umum HMI Cabang Malang Koordinator Komisariat UM
Periode 1439-1440 H/2017-2018 M

Post a Comment