Perihal Kualitas dan Kuantitas HMI di UM

Perihal Kualitas dan Kuantitas HMI di UM
Perihal Kualitas dan Kuantitas HMI di UM
Pada tanggal 5 Februari 2018 lalu, alhamdulillah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merayakan Miladnya yang ke-71 tahun. Menyandang predikat sebagai organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar di tanah air, maka jelas hal ini linear dengan sepak terjang historis, perjuangan, dan sumbangsih HMI bagi umat dan bangsa. Selaras dengan visi awal didirikannya HMI, yang kemudian hari ini diidiomkan sebagai wawasan keumatan/keislaman dan komitmen kebangsaan.

Memasuki usianya yang ke-71 tahun, maka HMI juga diharapkan semakin matang dan mantap dalam eksistensinya sebagai organisasi kader (sesuai pasal 8 Anggaran Dasar), dalam rangka mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Usia ke-71 tahun juga secara implisit merepresentasikan jejak historis yang telah dilalui oleh HMI, baik dalam menghadapi gelombang dinamika internal maupun eksternal organisasi.

Meskipun demikian, sepak terjang historis yang panjang hingga saat ini tentulah tidak dilalui tanpa tempaan berbagai persoalan. Mengenai eksistensi HMI sebagai organisasi kader, harus menghadapi berbagai dinamika dan persoalan yang ada, yang kemudian secara sepintas dapat kita lihat dalam salah satu buku karangan alm. Ayahanda Agussalim Sitompul yaitu “44 Indikator Kemunduran HMI“. Isi dan ulasan persoalan yang ada dalam buku tersebut secara kasat mata dapat kita amati pada kondisi HMI sekarang, termasuk di HMI Cabang Malang khususnya lingkup Koordinator Komisariat Universitas Negeri Malang (Korkom UM).

Simetris dengan tajuk tulisan di atas, maka pada kesempatan ini penulis hendak berbagi sedikit pikiran terkait kondisi kaderisasi kita (HMI) di UM, khususnya berkenaan dengan soal kualitas dan kuantitas, yang menurut penulis menjadi persoalan urgent hari ini untuk segera kita cari dan rumuskan problem solving-nya bersama. Bahwa hari ini, baik disadari atau tidak, diakui atau tidak, kondisi kaderisasi kita tengah mengalami penurunan baik pada aspek kualitas maupun kuantitasnya. Sebagai kader-kader HMI yang mengawali proses tempaan psikologis, intelektualitas, spiritualitas, hingga emosional di masing-masing Komisariat, maka (menurut penulis) kita semua tentu tahu dan paham akan kondisi dan persoalan-persoalan yang dimaksud.

Kurang masif dan optimalnya forum-forum intelektual, kurang mampunya Komisariat untuk mewadahi harapan dan passion para kader, rendahnya animo kader untuk mengikuti jenjang training lanjutan, termasuk mudah terjebaknya para fungsionaris pada persoalan-persoalan jangka pendek, pada akhirnya membawa konsekuensi bagi kurang optimalnya proses kaderisasi, termasuk jalannya roda organisasi itu sendiri. Jika persoalan-persoalan ini dikaitkan pada struktural-hierarkis yang ada, maka bagi penulis adalah wajar. Mengingat fungsionaris organisasi yang ada pun masih terikat pada banyak tanggung jawab moril yang lain, termasuk soal akademik.

Dengan demikian maka, berbicara soal kaderisasi HMI, ia tidak bisa dilepas pisahkan dari tanggung jawab moril kita semua, baik itu sebagai pengurus, anggota biasa, termasuk senior dan/atau alumni. Forum-forum pada akhir kepengurusan seperti Rapat Anggota Komisariat (RAK) bukan sebatas untuk pertanggungjawaban pengurus dan pemilihan Ketua Umum yang baru, tetapi juga menjadi momentum untuk evaluasi bersama, membuat formulasi-formulasi baru untuk menghadapi tantangan perkaderan ke depan. Tentunya dengan memetik preseden pada masa kepengurusan yang hendak berakhir, yang biasanya menjadi bahan perdebatan kusir antara senior dan pengurus.

Di sisi lain, kurang mampunya HMI tampil sebagai penjawab kebutuhan-kebutuhan mahasiswa yang sekarang, kurang mampunya kita untuk menampilkan wajah HMI sesuai dengan passion mahasiswa yang sesuai dengan bidang akademik atau fakultas masing-masing, sering terjebaknya kita pada konstelasi politik kampus yang akhirnya memunculkan stereotip HMI seperti partai politik, serta berbagai macam persoalan yang lain pada akhirnya membuat HMI teralienasi atau bahkan tidak lagi menarik bagi mahasiswa.

Persoalan-persoalan internal yang lama atau bahkan tak kunjung menemukan solusi pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas perkaderan. Kita seringkali terjebak pada persoalan jangka pendek dan tidak substansial, soal suka atau tidak suka antar personal, termasuk juga antar Komisariat. Persoalan ini pula yang seringkali mewarnai proses distribusi kader kita di struktural organisasi intra kampus, yang kurang bertumpu pada kualitas gagasan dan kapabilitas personal, tetapi lebih kepada hitung-hitungan politis.

Kita hampir lupa bahwa HMI adalah organisasi kader, organisasi yang mempersiapkan dan membekali kita semua dengan 5 (lima) kualitas insan cita untuk memimpin umat dan bangsa di masa yang akan datang. Terjadi distorsi dan membuat kita hampir mirip dengan para politisi. Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa berbicara perihal kaderisasi HMI di UM maka sudah jelas kita akan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang kompleks.

Dengan melihat kondisi obyektif hari ini, maka (bagi penulis) soliditas serta sinergitas kita semua merupakan syarat utama dalam membenahi kembali kaderisasi HMI di UM, termasuk dalam membuat formulasi-formulasi perkaderan jangka panjang. Lembaga Pengembangan Profesi (LPP) yang ada harus dioptimalisasikan untuk menumbuhkembangkan soft skill para kader. Menghadirkan kembali HMI sebagai problem solver bagi dunia kemahasiswaan, umat maupun bangsa, termasuk menampilkan wajah HMI sesuai dengan karakteristik dan bidang keilmuan masing-masing fakultas agar HMI tidak terlihat asing di tengah mahasiswa.

Karena posisi Komisariat sebagai benteng ideologisasi sekaligus gerbang kaderisasi HMI, maka masifikasi forum-forum intelektual juga perlu mendapatkan perhatian. Hal ini tidak lain adalah untuk melatih nalar kritis dan analitis kader, termasuk sebagai antitesis atas sindrom teknologi digital yang cenderung membuat kita apatis dan bermental instan. Mendorong para kader untuk terus berprestasi dan menciptakan karya-karya orisinil agar kita tidak melulu mengandalkan popularitas senior atau alumni dalam mengenalkan HMI, termasuk dalam hal strategi perekrutan calon kader baru.

Ulasan singkat yang telah disampaikan oleh penulis ini tentulah masih kurang komprehensif untuk merepresentasikan kondisi HMI di UM beserta berbagai persoalannya yang kompleks hari ini. Meskipun demikian, sebagaimana telah penulis tekankan di awal, bahwa persoalan-persoalan perkaderan ini sepatutnya membuka mata dan pikiran kita semua. Soal kualitas perkaderan, termasuk penurunan kuantitas yang cukup signifikan beberapa tahun terakhir patut untuk menjadi perhatian sekaligus kita carikan solusinya bersama. Sudah saatnya kita untuk berbicara HMI UM, tidak lagi terpolarisasi pada masing-masing Komisariat atau fakultas.

Ego personal, ego Komisariat atau fakultas masing-masing kita tanggalkan. Jika tidak, maka bisa jadi dalam beberapa tahun ke depan HMI di UM semakin redup, seiring dengan penurunan kuantitas yang cukup signifikan di beberapa Komisariat hari ini.


Penulis: Junaidi Doni Luli
Ketua Umum HMI Cabang Malang Koordinator Komisariat UM
Periode 1439-1440 H/2017-2018 M

Post a Comment