Essai tentang Pendidikan, Sekelumit Catatan untuk Wilayah Kampus

Essai tentang Pendidikan, Sekelumit Catatan untuk Wilayah Kampus
Essai tentang Pendidikan, Sekelumit Catatan untuk Wilayah Kampus
Kelompok mahasiswa adalah kelompok usia muda yang memiliki naluri untuk tampil, semangat untuk memberontak terhadap kemapaman, sekaligus sedang dalam proses mencari identitas diri. Naluri semacam itu perlu diberi ruang untuk menyalurkan dan mengembangkannya juga tidak dapat dipaksa untuk disatukan dengan satu pola: belajar di kampus saja! (Darmaningtyas).

***

Kampus! Siapa dari kita yang tidak kenal kampus? Bagus bangunannya dan gagah manusia yang hidup di dalamnya. Setidaknya pertanyaan dan pernyataan mendasar tersebut ditujukkan atas eksistensi kampus untuk mereproduksi manusia ahli yang menurut Edi Subhan (2016) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu akedemisi dan praktisi. Sehingga jika diruntut dari gambaran tersebut sangat jelas diperoleh tesis bahwa kampus adalah lembaga yang digunakan untuk mereproduksi ide sekaligus tenaga kerja. Tinjauan tersebut dapat dipahami secara utuh dengan menggunakan latar dunia kerja sebagai salah satu tujuan seseorang menapaki jejak perkuliahan.

Namun, jika berangkat dari sisi historis, pandangan tersebut dapat direduksi karena agenda neo-liberal tidak semassif saat ini. Pada dasarnya sejarah bangsa ini memang ditakdirkan milik insan beridealis yang lahir dari rahim kampus sebagai kontruksi tertinggi ilmu pengetahuan. Historiografi masa silam membuktikan bahwa anak muda beralmamater mencetak sejarah baru, bukan sebagai stake holders dalam pengambilan keputusan, juga bukan sebagai sekutu para penguasa tiran yang lebih banyak berambisi dari pada memberi solusi atas segala bentuk masalah kerakyatan. Tinjauan historis juga diperkuat atas aksi nekad para mahasiswa dalam mengguncang status quo kekuasaan yang sah pada tahun 1998. Mahasiswa menggempur gedung para dewan bak serangan kaum revolusioner atas kaum reaksioner yang telah berkhianat terlalu jauh dalam menjalankan misi pembangunan (baca: developmentalisme).

Nyatanya sejarah itu dimenangkan oleh mahasiswa sebagai pewaris peradaban. Karena penulis sadar betul bahwa apa yang dikatakan oleh Wilson (2015) sangat benar: sejarah bukanlah cerita tentang elit dan pergantian kekuasaan melainkan perjuangan rakyat kecil untuk mempertahankan haknya akan tanah, air dan budayanya sedangkan sejarah dalam istana hanyalah fenomena. Penulis berasumsi bahwa pada waktu itu reformasi bukan hanya dilacurkan melalui pemilu yang tak akan banyak memberikan sumbangsih perubahan yang nyata karena sudah jelas mereka yang memimpin adalah kaum elit yang ketundukan mereka menghamba pada pemilik modal, perusahaan raksasa, partai politik, dan para cukong (Prasetyo, 2013). Akan tetapi secara simbolis perubahan itu diakomodir oleh massa tertindas bersama kepalan tangan kiri mahasiswa sebagai output apa yang disebut dengan kampus! Karena mereka sadar bahwa menjadi produk kampus adalah suatu kebanggaan dalam mengawal cita-cita kebenaran dan kepada siapa keberpihakan duduk untuk ditunjukkan.

Meminjam istilah dari Antonio Gramsci, bahwa pada tahap ini mahasiswa dapat dikatakan sebagai intelektual organis atau intelektual yang berperan untuk mengambil alih kepemimpinan bangsa dan membangun kesadaran politik melalui reformasi moral serta intelektual secara menyeluruh (Simon, 2004). Sedangkan mahasiswa pada waktu itu sadar betul siapa musuh mereka: pemimpin arogan dan penghardik nilai-nilai kemanusiaan. Ya memang benar pada tahap ini kampus adalah pabrik sunyi para panjaga nilai dan golongan intelektual mirip seperti kredo oleh Hariyono (2014) tentang pendidikan tinggi sebagai university magisterium and scholarium, dalam artian universitas sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya para sarjana dalam menemukan kebenaran ilmiah demi mencapai kapasitas diri dalam membantu permasalahan yang terdapat dalam alam realitas masyarakat.

Generasi mahasiswa ini sangat istimewa dan berhasil dilukiskan oleh Onghokham (1991) sebagai generasi mahasiswa yang berbeda dalam hal fakultas, baik mereka yang belajar di kedokteran, teknik, hukum, dan ekonomi tidak menyempitkan diri dalam bidang-bidang mereka, akan tetapi bacaan dan pendalaman pengetahuan mereka yang luas menyebabkan sadar akan isu-isu besar zaman mereka seperti kolonialisme, imperialisme, hubungan internasional dan lain-lain. Pada saat inilah status mahasiswa sangat diperhitungkan dan dicap sebagai generasi pelopor karena memanfaatkan ketajaman moral dan intelektual dalam menghimpun kekuataan bersama guna melawan segala bentuk ketidakberesan.

Setiap zaman akan selalu membawa konsekuensi perubahan dalam banyak hal. Namun, semangat melawan segala bentuk penindasan, pembodohan, dan kekerasan menjadi wajib dilakukan. Bukan hanya menentang ketiga hal tersebut, tetapi juga sistem yang berafiliasi dengan ketiga bentuk kedustaan tersebut menjadi lumrah dilakukan. Akan tetapi ketika sistem penanggalan sudah bersalin rupa bentuk angka-angkanya dalam artian sudah memasuki doktrin amanah neoliberalisme di mana pasar dan modal menjadi kekuataan besar yang mampu mengalahkan ilmu pengetahuan yang bebas dari nilai maka massa herois diatas sudah kaku dan tak berlaku lagi! Mirip lukisan Monalisa yang sudah usang dan tinggal kenangan. Hanya sebatas lukisan estetika namun tak terdapat ilham di dalamnya karena digeser oleh sikap pecundang generasi berikutnya.

Paradoks tersebut jika ditelisik secara cermat maka eksponen pendidikan sudah direduksi bukan sebagai alat perlawanan dan senjata dalam mencapai perubahan sosial akan tetapi diubah sebagai pabrik raksasa yang mempekerjakan mahasiswa sebagai buruh upahan dengan gaji rendah dan hanya menghegemoni nilai dan kulturalnya kepada trah penguasa modal! Dengan cerobong asapnya, pabrik tersebut semakin brutal dalam mengotori udara intelektual. Bagaimana mungkin kampus yang menopang ilmu pengetahuan dan kesadaran sudah bias dalam menjalankan peranannya? Tragisnya lagi, mahasiswa bukan hanya dijadikan sebagai pekerja murahan akan tetapi juga sapi perahan. Hal yang demikian itu menandakan disorientasi peran dan fungsi pendidikan tinggi serta hanya disempitkan secara eksplisit layaknya sebagai pasar! Kelola apapun yang dapat memberi untung para penguasa dan birokrat kampus!

Kuasai lahan parkir mahasiswa, anjurkan mahasiswa ikut rangkaian lomba, dan pasang tarif pembayaran akan kehilangan kartu mahasiswa. Seakan-akan kita semua telah lupa bahwa jika modal menjadi tujuan utama, maka mau dikemanakan fungsi sosial manusia sebagai mahluk yang beradab dan saling tolong menolong akan setiap kebuntuan? Mari kita telisik bersama degradasi kehidupan kampus mulai dari pembiayaan yang tidak adil dan kehidupan mahasiswa yang seragam. Belum lagi ditambah uraian bukti yang menambah panjang deretan kegelisahan akan pendidikan tinggi sebagai suatu jalan yang dimitoskan untuk menjadi locus menuju perubahan sosial.

Bukti pertama bahwa setiap penerimaan mahasiswa baru registrasi pembayaran (UKT) semakin menyekik leher. Bahkan kenaikan tarif pembayaran bisa mencapai 60% dari tahun sebelumnya, sedangkan akibat dari hal tersebut maka banyak calon mahasiswa memilih mundur saja (Tempo, 2 September 2013). Bukti kedua, pengenaan UKT tidak transparan alias ngawur tanpa didasari realitas aspek ekonomi mahasiswa yang bersangkutan seperti yang telah banyak diungkapkan oleh mahasiswa seantero negeri, bahwa terdapat tumpang tindih antara penghasilan dengan UKT yang harus dibayarkan. Salah satu cara dalam menolak hal tersebut adalah dengan mengajukan keringanan, akan tetapi jikalau mahasiswa tersebut mengajukan keringanan maka setumpuk berkas dan persyaratan harus dilengkapi dengan penurunan nominal yang tak terlalu tinggi. Terakhir, bahwa modal telah menyulap kampus sebagai wahana ekspresi rakyat atas ketidakadilan sungguh tak dimunculkan.

Kampus miskin perdebatan isu-isu liberalisasi, adu logika, dan imajinasi. Disinyalir dengan demikian kampus hanya berisi cerita tentang kekayaan dan kontestasi banyak aturan yang tidak masuk akal bahwa pengemis, pemulung, dan kaum papa haram masuk kampus dan satpam siap memborbardir jika mereka tetap melawan. Ah ini kampus atau medan perang! Hal tersebut sama saja menjauhkan kampus dari alam realitas penghidupan masyarakat yang kian terasing dengan peraturan. Belum lagi ditambah aspek dikotomi antara apa yang terdapat dalam teori-praktek, bahkan ambivalensi antara teks dan konteks menjadikan kampus tak lebih dari sebuah mata rantai produksi dalam pabrik sistem produsen-konsumen (Thomson, 2014). Kampus yang diharapkan mencetak intelektual organis sudah bersalin wajah sebagai pencetak intelektual pasar. Dengan entengnya memberi gelar pendidikan, anjuran AMDAL, dan kran perpolitikan.

Sehingga banyak pihak yang malah menjadi intelektual asongan ketimbang intelektual organis! Padahal debat panjang antara Antonia Caso dan Lombardo Toledano menghasilkan antitesa bahwa kampus yang harus ditentang adalah kampus yang mempunyai hubungan akrab dengan kekuasaan politik (Fraire, 1994). Relasi yang sedemikian rupa antara kekuasaan dengan ilmu pengetahuan akan semakin membawa kendali kampus sebagai pusat dalam melegitimasi kebenaran palsu demi kekuasaan. Rekonstruksi peranan kampus juga mutlak dilakukan sebagai upaya memisahkan antara kekuasaan dengan ilmu pengetahuaan. Efek yang tragis dalam relasi tersebut adalah kehidupan mahasiswa semakin tak berbahaya sama sekali. Anehnya  mereka mahasiswa sudah kehilangan idealismenya sebagai pemuda dalam banyak hal akibat anekdot gejala globalisasi dan terseretnya kampus dalam mode neo-liberal: nongkrok di kafe mewah mendiskusikan kemiskinan, membicarakan masyarakat hanya sebagai dalih kepentingan, dan menciptakan keangkuhan baru lewat prestise atas status akreditasi kampus mereka.

Mahasiswa hanya memperbincangkan masalah cinta, perasaan, dan perbelanjaan yang pada akhirnya hanya menuntut mereka mencari kesenangan bukan lagi menuntut cerita tentang perubahan. Relevan dengan ungkapan yang dicetuskan oleh Marshall Sylver (2006), sebagian besar anak-anak muda dan manusia pada umumnya lebih banyak dikendalikan oleh alam bawah sadar. Pernyataan ini membuktikan bahwa alam realitas yang dijalani oleh mahasiswa di mana mereka terikat oleh fungsi sosial-kultural semakin terdistorsi oleh budaya-budaya sekuler yang banyak menenggelamkan kesadaran kritis. Pemupukan kesadaran kritis yang masih lunglai dianggap sebagai salah satu faktor yang meracuni para mahasiswa untuk berpikir dan bertindak. Sikap individualisme dan main aman adalah salah satu buktinya.

Bukankah arogan ketika kegiatan mahasiswa hanya sebatas pada pencarian kesenangan dan main aman? Bukankah itu merupakan sikap yang pragmatis? Dus, siapkah anda untuk menggerutkan dahi sebentar? Berkerutlah selagi bisa diwilayah kampus. Berbicara kampus memang tak akan pernah selesai, karena sudah lama kampus menjadi kendaraan yang digunakan untuk mencapai mobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal. Namun dalam dasawarsa ini peran kampus harus dipertanyakan ulang akibat narasi neoliberal. Padahal menurut Kristeva (2015) sejak kebijakan neo-liberal diimplementasikan, kebijakan tersebut telah menuai banyak korban khususnya di pihak kaum miskin. Begitu pula dalam bidang pendidikan, agenda neo-liberal pendidikan akan mudah disusupi oleh kurikulum terselubung (hidden curiculum) dan akhir dari masalah ini adalah lagi-lagi kelas ekonomi lemah alias kaum miskin yang menjadi korban dalam setiap kebijakan.

Hingga saat ini, seolah-olah kampus adalah pabrik yang besar dan berisi jutaan barang setengah jadi yang siap dijadikan komoditas. Jual sana sini dan promosikan kesana-kemari! Bahkan kegiatan kampus hanya seragam dengan latar diskusi akademisi yang tidak banyak memberikan inspirasi kepada mahasiswa untuk bergerak aktif dalam memihak kaum miskin. Mahasiswa hanya diarahkan pada kepatuhan dan jangan coba-coba untuk melawan, sedangkan kaum konservatif kampus tidak lupa mentasbihkan gerak mahasiswa dengan dosa tak terlihat. Hal ini menjadikan kampus sangat miskin akan gerakan perubahan baru (new social movement) bersama untuk membela rakyat tertindas lain di luar kontruksi universitas.

Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ignas Kleden (Kompas, 2002), salah satu sebab merosotnya pendidikan nasional adalah apa yang disebut dengan pendidikan yang bersifat instrumental, yakni suatu pendidikan yang tidak mendidik orang untuk menjadi dewasa melainkan hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan. Entah dicetak menjadi akademisi atau praktisi bahkan segala jenis pekerjaan lain. Kredo mahasiswa sebagai agen perubahan hanya menjadi sebuah ilusi yang diciptakan oleh pemodal. Murni tak banyak dari mahasiswa memilih jalan menjadi pendamping masyarakat kecil yang hak-haknya sudah tercerabut dalam lembah pertiwi. Kembalikan marwah pendidikan kepada tujuan utama yang dicetuskan oleh Nelson Mandela (2013), “pendidikan adalah senjata yang paling kuat yang dapat digunakan untuk mengubah dunia”. Pada dasarnya, Nelson juga mempercayai satu hal bahwa melalui pendidikan semua kebodohan, keterjajahan, dan penindasan dapat dimusnahkan. 

Hal mendasar itulah yang membuat Paulo Fraire (dalam Listiyono dkk, 2003) merasa bahwa pendidikan adalah wahana pembebasan manusia dengan mengembalikan kemanusiaan yang telah hilang. Dua tokoh tersebut telah banyak memberikan sumbangan di dunia pendidikan dengan konsep-konsep pendidikan yang dapat diterima oleh kalangan luas. Karena mereka sadar bahwa pendidikan merupakan kutub kontradiksi antara berbagai macam kepentingan yang membelenggu.

Dengan demikian, sudahkah kita mempunyai nyali untuk mewujudkan misi kemanusiaan lewat dunia pendidikan? Bukankah itu esensi dari tugas mahasiswa untuk menghidupkan kembali nalar pendidikan radikal yang membebaskan belenggu ketertindasan? Sudah saatnya kita melakukan koreksi dan pada akhirnya mengarah ke perlawanan. Tentu saja bukan melalui pembangkangan atau pembakaran gedung rektorat, akan tetapi kita perlu melakukan revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan diharapkan mampu memberikan optimisme segar bagi dunia pendidikan yang selama ini hanya menjadi alat reproduksi bagi kelas berkuasa.

Sudah saatnya mahasiswa mengambil bagian dari peranan sentral untuk mengambil alih pendidikan dari pihak dominasi melalui revolusi pendidikan. Cerita revolusi pendidikan bukan hanya milik para pemegang kebijakan, para menteri dibantu oleh serdadu, dewan pendidikan, bahkan oleh guru sekalipun. Namun mahasiswa sebagai pewaris peradaban mempunyai peran dalam mencetuskan pemikiran disertai gerakan lewat revolusi pendidikan. Sehingga dari sini, mahasiswa perlu belajar banyak tentang pendidikan. Gulirkan fakta bahwa pendidikan saat ini melenceng jauh dari apa yang kita harapkan, pendidikan bukan memperkaya akan tetapi sudah memiskinkan dan membodohkan, dan jangan lupa untuk menguasai ruang-ruang publik yang selama ini hanya digunakan sebagai alat bersenggama.

Pesan Wiji Thukul dalam penggalan puisinya yaitu “jika kita menghamba pada ketakutan pasti kita akan memperpanjang barisan perbudakan”. Lebih radikal lagi pesan oleh Iqbal (dalam Prasetyo, 2012), jika dunia tidak selaras denganmu maka bangkit dan tantang ia! Sudahkah kita mempunyai nyali dalam melawan setiap kebengisan? Atau apakah kita barisan yang maunya cari aman dan sudah tak layak dijuluki sebagai agent of change and social control? Jika engkau masih bertanya-tanya siapa yang harus mengubah kampus pada marwahnya atas kerusakan oleh modal dan perangai busuk mahasiswa yang tak berbahaya, maka lihat dirimu dan periksa nuranimu. Jika kau masih bingungkan siapa yang dimaksud, maka ijinkan saya mengucap nada sinis berbahasa Jerman: de te fabula narrator (tentang kaulah kisah ini dituturkan).


Penulis: Eko Heru Setiawan 
Ketua Bidang Pembinaan Anggota
HMI Cabang Malang Komisariat Ilmu Sosial UM
Periode 1438-1439 H/2017-2018 M

Sumber Ilham

Fraire, Paulo. 1994. Higher Education: A Dialoque at the National University of Mexico. New York: State University of New York Press.
2014. Ideologi Pancasila: Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang: Intrans Publishing.
Kleden, Ignas. 21 November 2002. Pendidikan Nasional Tak Berefek Emansipatoris. Kompas, hlm.10.
Kristeva, Santoso. 2015. Kapitalisme Negara dan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2013. Long Walk Nelson Mandela. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, Eko. 2012. Kisah-kisah Pembebasan dalam Qur’an. Yogyakarta: PUSHAM UII dan Resist Book.
Prasetyo, Eko. 2013. Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Malang: Intrans Publishing.
Santoso, Listiyono & DKK. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar Ruzz Press.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist.
Subkhan, Edi. 2016. Pendidikan Kritis: Kritik atas Praksis Neo-liberalisasi dan Standarisasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
2 September 2013. Mahasiswa UNIBRAW masih Protes Biaya Kuliah Mahal, hlm.1-3.
Thomson, Ahmad. 2014. Sistem Dajjal. Jakarta: Zahira.
2015. Soekarno, Komunis, dan Fasis Orba. Malang: Intrans Publishing.

Post a Comment