Ada Apa Dengan Cilaka?
![]() |
Ada Apa Dengan Cilaka? |
Sejak kemunculannya, RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang digadang sebagai omnibus law bagi kesejahteraan "seluruh" masyarakat Indonesia nyatanya tetap ditolak oleh elemen masyarakat tertentu. DPR tentu sebagai pihak yang keukeuh menyelesaikan produk hukum ini di tengah wabah justru dipertanyakan urgensi dalam kerja keras dan idealisme-nya demi RUU ini.
Kehadiran omnibus law disebutkan oleh pemerintah sebagai solusi terhadap lesunya investasi dari luar negeri dan meningkatnya jumlah pengangguran. Omnibus law memiliki manfaat seperti jaminan BPJS ketenagakerjaan jika perusahaan tutup atau melakukan PHK hingga penghapusan sistem pengupahan (Investor.id, 2020).
Layaknya sebuah iklan, dua hal tersebut seakan menjadi utopia semu ditengah deru negatif dari proses perancangan dan pengkajian RUU Cilaka ini. Ternyata masih ada elemen masyarakat yang meragukan omnibus law ini, terutama mereka yang bekerja sebagai buruh, bertindak sebagai wakil rakyat, dan juga sebagian besar pengusaha.
Para buruh yang tetap gencar bersuara mengenai penolakan RUU Cilaka ini tetap percaya jika dalam keadaan apapun mereka menyuarakan penolakan, maka publik tetap ingat betapa cacat-nya omnibus law ini sejak awal kemunculannya hingga usaha pengkajian di tengah COVID-19 di Indonesia. Buruh di Sulawesi Selatan pun mengerti akan keadaan wabah dan tetap tinggal di tempat tinggal mereka, menahan diri untuk berunjuk rasa dan berharap DPR melakukan hal serupa dengan menahan diri melancarkan pengesahan RUU Cilaka. Buruh dalam serikat buruh bukanlah sekedar pekerja, mereka juga layaknya manusia yang bisa berkomunitas dan turut dalam isu publik dan politik.
Para politikus dari kubu --yang sepertinya---berada dalam kubu oposisi masih bersepakat bahwa kehadiran omnibus law selama proses perancangannya benar-benar akan berdampak negatif. Salah satu yang berbahaya adalah perubahan pasal dalam produk hukum yang penting seperti sistem pendidikan yang menjadi celah bagi lancarnya pemalsuan status akademik seseorang. Mereka menilai jika sanksi pidana tidak diberlakukan pada pemilik dan penyedia ijazah palsu maka akan memicu maraknya pembuatan dan penggunaan ijazah palsu dalam dunia kerja (tribunnews, 2020).
Seorang anggota DPRD Kabupaten Pati juga terlihat "ingin" omnibus law ini tidak mengacaukan hak pekerja dan meminta masyarakat untuk turut mengawalnya (Mitra Post, 2020). Dia memang tidak secara eksplisit menolak, tetapi sikap yang ia tunjukkan memang memperlihatkan bahwa omnibus law ini hanya menguntungkan satu pihak meskipun aspek-aspek bidang ekonomi dan keterlibatan elemen masyarakat yang terkait dimasukkan dan dibahas. Dia pun tidak serta-serta mengatakan bahwa hukum ini buruk total, namun mengingatkan bahwa kehadirannya harus menjamin kesejahteraan pekerja.
Kubu yang masih kurang setuju terhadap proses pembahasan draft RUU yang digiatkan oleh DPR ini adalah para pengusaha yang tergabung dalam Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Ini sangat mengejutkan mengingat yang gencar menolak adalah kaum buruh, mahasiswa, dan para aktivis. Daripada membicarakan keburukan dari pasal-pasal kontroversial, mereka lebih memaparkan efek yang dirasakan para pengusaha akibat RUU Cilaka yang terangkum dalam lima resiko usaha yang terdiri dari (Kompas, 2020):
- Semakin kecil peluang untuk menarik investasi padat karya (produksi massal dengan teknologi rendah).
- Hanya akan menarik untuk industri padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
- Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah.
- Perusahaan padat karya saat ini dan mendatang akan terus disibukkan dengan dispute ketenagakerjaan antara manajemen yang berhadapan dengan pekerja dan pemerintah dalam menegosiasikan upah yang melampaui kemampuannya untuk membayar sehingga usaha berlangsung tidak produktif.
- Tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis-jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibilitas waktu kerja berbasis mingguan, harian, bahkan per-jam.
Ternyata masih ada yang hidup, berusaha, dan menolak kelancaran UU Cilaka yang 'mencelakakan' kaum buruh dan menguntungkan investor ini. Mereka yang berbeda latar belakang dan status ekonomi tersebut memiliki kemiripan makna dalam menyuarakan keengganan melihat kelancaran pembahasan RUU ini, yaitu tidak menguntungkan semua pihak yang terkena dampak jika RUU ini disahkan dan diundangkan.