Bersama HMI Wirausaha Menjadi Mudah #7
Aku Riko salah satu buruh di salah satu pabrik tekstil, gaji yang kudapatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, untuk biaya sekolah adik dan berobat ibu. Aku belum menikah, umurku masih 21 tahun. Selama ini aku terpaksa bekerja karena tidak mampu melanjutkan kuliah. Ibuku single parent, ayahku pergi sejak adekku masih dalam kandungan. Ibu berjualan kripik tempe, memang penghasilan itu masih belum bisa memenuhi kebutuhan, kadang laris dan kadang sama sekali tidak ada yang terjual, padahal kripik tempe buatan ibu enak sekali. Sekarang ibu tidak bisa berjualan lagi karena sakit.
Sepulang dari kerja aku langsung membeli makanan untuk makan nanti malam. Sesampainya di rumah, aku melihat ibu duduk di atas tempat tidur sambil memijat kakinya.
“Bu, ini aku belikan makanan buat makan nanti, Lita kemana Bu?” tanyaku sambil menyerahkan kantong plastik berisi bungkusan nasi dan melihat sekeliling mencari adik perempuanku.
“Lagi keluar ke toko dekat rumah, katanya mau beli buku,” jawab ibu.
“Oh, ya sudah. Riko mau mandi dulu Bu.”
Aku segera mandi dan menyiapkan makan malam. Memang sangat melelahkan setelah seharian bekerja, tapi kalau bukan aku siapa lagi, adikku masih umur 7 tahun. Selain bekerja, aku juga bertanggung jawab mengurus rumah.
“Wah, Kakak sudah pulang, uang yang Kakak kasih tadi pagi aku pakai untuk beli buku ini, soalnya buku Lita habis Kak,” sambal menyodorkan bukunya kearahku, tampak dari wajahnya bahwa adikku sangat antusias untuk menceritakan isi buku itu.
“Di sekolah tadi gak jajan?” tanyaku.
“Enggak kak.”
“Oh ya sudah, lain kali bilang ya kalau bukunya habis. Ayo makan.”
Adikku dengan lincah menaruh buku di mejanya dan kembali di hadapanku mengambil nasi bungkus yang sudah kusiapkan. Aku mengambil satu bungkus kubawa untuk ibu di tempat tidurnya bersama air putih di gelas.
Setelah makan aku mencuci piring. aku melihat di bawah meja ada wajan besar yang dikelilingi sarang laba-laba, wajan itu tidak pernah terpakai lagi sejak ibu sakit, 4 tahun lamanya. Berbagai macam alat untuk membuat kripik tempe masih lengkap, namun tak terurus, berdebu. Aku terpikir untuk menggunakan alat itu lagi, belajar membuat tempe kripik dan menjualnya.
Tiba saat di hari minggu, dimana aku sedang libur kerja, Lita sedang bermain bersama temannya. Aku membicarakan keinginanku kepada ibu.
“Apa kamu ndak capek kalau setiap hari ada kerjaan terus, gak ada istirahatnya, libur malah mau buat kripik tempe.”
“Aku lebih capek kalau harus jadi pekerja terus Bu, gajinya ndak seberapa, kerjanya berat. Aku ingin ada perubahan, aku ingin memulai lagi usaha yang dulu pernah ibu jalankan. Siapa tahu aku nanti bisa jadi pengusaha kripik tempe yang sukses, aku gak perlu lagi kerja berat dan bisa merubah perekonomian keluarga, aku gak mau hidup seperti ini terus, serba pas-pasan malah kadang kekurangan. Ibu tenang saja, aku gak akan mengundurkan diri dari kerjaan itu sebelum usaha ini sukses Bu, jadi kita masih dapat penghasilan tetap,” aku menjelaskan dengan mata berkaca-kaca dan berharap ibu mendukung keinginanku, dan mengajari membuat kripik tempe.
Selama bekerja di pabrik itu, aku ditempatkan di pekerjaan yang berat, aku akui memang aku ini bukan anak yang pintar, lulusan SMK yang tak punya prestasi apa-apa, nilai yang kudapatkan masa sekolah dulu pun standar, aku bukan anak yang berprestasi, karna itu aku dipekerjakan di bagian angkut barang. Aku punya semangat untuk bekerja karna butuh uang. Kalau saja ada pekerjaan lain selain ini aku sudah lama mengundurkan diri, sayangnya mencari pekerjaan tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk orang sepertiku.
“Ibu dukung keinginanmu, manfaatkan sebaik-baiknya modal yang kamu punya itu, nanti Ibu ajarkan cara buatnya.”
Aku senang mendengarnya, ibupun mulai menjelaskan dari bahan yang digunakan sampai cara pembuatan. Aku mencatatnya di buku tulis. Setelah itu aku ke pasar membeli bahannya. Seharian penuh aku belajar, menyiapkan dan mencoba membuat kripik tempe agar bisa seenak buatan ibu.
Keesokan harinya, seperti biasa aku harus berangkat pagi-pagi ke tempat kerja. Adikku, Lita, sudah bisa menyiapkan keperluannya sendiri, memang dia kulatih untuk menjadi anak mandiri sejak dini.
Sepulang kerja, dengan terburu-buru, lebih cepat dari biasanya, aku membeli makanan lalu pulang. Kemudian aku kembali pergi membawa kripik tempe untuk menjualnya di alun-alun kota. Suasana angkutan umum yang kunaiki begitu pengap namun aku teralih oleh matahari yang perlahan tenggelam. Saat turun dari angkot lampu-lampu kota sudah mulai menghiasi pinggiran jalan, pertanda malam telah tiba. Aku mulai menawarkan kripik tempe yang kubawa di tangan kanan dan kiri. Totalnya ada 40 bungkus. Kripik tempe harga dua ribu kukemas di plastik sederhana berwarna bening dan kurekatkan dengan sengatan api dari lilin.
“Tempe kripik, renyah, gurih, enak, 2000 saja,” aku berteriak sambil berjalan mendekati kerumunan orang.
Tak terasa, pengunjung alun-alun kota mulai berkurang, hanya lima bungkus yang terjual. Selama itu aku hanya mendapat uang 10.000, ongkos berangkat ke sini 5000, pulang juga 5000. Pendapatku sepadan dengan ongkos pulang-pergi saja.
Sudah lebih dari seminggu setiap petang, sepulang kerja aku selalu pergi ke alun-alun untuk berjualan, sangat sedikit kripik tempe yang terjual. Hasil jualan itu kadang habis untuk ongkos pulang. Paling banyak penjualan 20 bungkus. Berbeda lagi ketika hujan dan alun-alun sepi, biasanya hanya laku satu bahkan tidak laku sama sekali.
“Gimana? Laris?” tanya ibu, ketika aku pulang.
Aku mengusap peluh keringat di dahiku, duduk disamping ibu.
“Sepi Bu, malam ini cuma 11 bungkus terjual, uangnya separuh buat ongkos pulang.”
“Sudahlah Ko, kamu nanti terlalu capek. Kalau kamu sakit, siapa yang urus adikmu. Dari pagi sampai sore kerja, petang sampai hampir tengah malam jualan. Jangan terlalu dipaksa lah Ko.”
“Tapi Bu, aku tetep pengen jadi pengusaha.”
Ibu hanya diam dan menepuk-nepuk pundakku. Sepertinya ibu sudah paham, memang sejak kecil jika aku memiliki keinginan maka harus tercapai. Termasuk ini aku bersikeras ingin jadi pengusaha, walau sangat melelahkan, semangatku tak berkurang sedikitpun.
Di teras rumah, aku terbawa oleh lamunan dan batinku berdesir “Apa yang harus aku lakukan agar penjualan keripikku meningkat, untuk rasa tiap hari kuperbaiki, bahkan sudah kuberi varian rasa”. Hingga Lita memecah lamunanku karena ia ingin memintaku untuk menemaninya belajar.
Esok hari, seperti biasa aku berangkat kerja sebelum matahari terbit, aku berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit menuju pabrik. Keinginan untuk memiliki kehidupan lebih baik membuatku semangat untuk bekerja siang dan malam. Aku sudah menyia-nyiakan masa sekolahku dengan tidak sungguh-sungguh dalam belajar, ini sudah konsekuensi yang kudapatkan. Namun sejak beberapa waktu lalu aku selalu mempunyai bayangan, untuk jadi pengusaha.
Setelah pulang kerja, aku tak membawa kripik tempe untuk berjualan di alun-alun. Kali ini aku pergi ke warnet yang tak jauh dari rumah. Aku merasa ilmuku kurang untuk jadi pengusaha sukses seperti yang ku impikan.
Suasana warnet dipenuhi dengan bunyi mesin print dan suara gesekan tombol keyboard yang bersentuhan dengan jari, aku tak terlalu mempedulikan orang disekitarku, aku mulai sibuk dengan hal yang kucari, mencari tips-tips menjadi pengusaha sukses. Hingga ada satu kata kunci yang membuat terpaku dan semakin fokus dengan layar yang ada didepanku “cara agar penjualan meningkat dan produk diminati”. Salah satu yang kudapat dari situ adalah masalah kemasan. Selain rasa yang enak, tampilan luar juga harus menarik. Mungkin memang aku harus memperbaiki kemasan.
“Mas, warnetnya mau saya tutup, besok bisa kesini lagi,” ujar seorang perempuan pemilik warnet, berdiri di dekat komputer sebelahku.
Setelah lama memahami dunia wirausaha, aku dikagetkannya, dan ku memastikan perkataan pemilik warnet ini dengan sedikit melirik jam yang terdapat di pojok layar computer. Keasyikanku dengan hal-hal yang kucari membuatku tak sadar bahwa pengunjung warnet hanyalah aku.
“Oh iya Mbak, maaf, terima kasih, ini uangnya.”
Akupun mematikan komputer dan segera pulang.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku masih memikirkan kemasan seperti apa yang cocok untuk keripik tempe yang kujual, kemasan seperti apa yang bisa menarik perhatian pembeli, yang bisa meningkatkan penjualan, dan mungkin ini akan membuat kripik tempe yang kujual laris, bisa berkembang dan mungkin dari sini aku bisa jadi pengusaha hebat.
“Baru pulang? Dari mana saja? Tumben gak bawa kripik tempenya,” seru ibu dari dalam kamarnya menegurku, mungkin suara pintu terbuka membangunkan tidurnya.
“Iya Bu, habis dari warnet, mencari tips-tips bagaimana cara menjadi pengusaha sukses,” sahutku sambil memamerkan deretan gigiku yang rapi. Ibu terdiam dan menyuruhku segera istirahat.
Aku berencana akan berhenti bekerja kalau usahaku ini belum memliki omset yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya aku sudah tak ingin bekerja disitu lagi. Aku sudah ada keinginan untuk berhenti sejak dulu.
Sepulang kerja, aku tidak lagi kealun-alun ataupun ke warnet. Aku pergi ke toko serba ada untuk mencari kemasan yang cocok untuk keripik tempe. Berbagai pilihan yang ditawarkan hingga aku menemukan yang cocok dengan produkku. Kemudian ku bergegas menuju toko tempat pembuatan stiker, rencananya akan ku tempel pada kemasan supaya lebih menarik. Di stiker akan kuberi nama usahaku, gambar kripik tempe serta beberapa keterangan, “Kripik tempe enak, gurih, dan renyah”.
Di hari Minggu ini, aku mulai menggunakan kemasan yang sudah aku beli, dan menempelkan stiker. Aku berencana akan menitipkan di toko-toko pinggir jalan. Sebelumnya memang aku sudah kesana hendak meinitipkan barang daganganku, tapi ditolak oleh pemilik toko dengan alasan sudah ada produk lain. Karena itu aku menjual daganganku di alun-alun. Tapi kali ini aku yakin, kripik tempeku bisa diterima untuk di jual di toko pinggir jalan itu.
Dan benar dugaanku. Aku datang dengan pakaian lebih rapi, membawa kripik tempe meminta izin kepada pemilik toko untuk menjualkannya, mereka mau. Aku menjual dengan harga 4000, dan mereka bisa menjual dengan harga yang lebih sehingga bisa memperoleh keuntungan.
Satu minggu kemudian, aku mendatangi toko-toko itu lagi. Dan aku sangat bersyukur penjualannya lumayan, hanya sisa 2 atau 3 saja. Padahal aku menitipkan ke 3 toko dan masing masing 20 bungkus.
“Mas Riko, tempe kripiknya enak sekali, pelanggan saya juga suka, ini tinggal dua bungkus mau saya beli saja buat anak istri di rumah,” ucap salah satu pemilik toko yang kudatangi.
“Alhamdulillah, minggu depan saya nitip lebih bisa kan Pak?”
“Bisa Mas, boleh banget.”
“Terima kasih ya Pak”
Setelah hampir satu bulan, aku terus menambah produksi keripik tempe, dan semakin banyak toko yang mau bekerja sama denganku. Setelah merasa cukup dengan keuntungan penjulan, aku berhenti menjadi budak pekerja di tempat dulu dan fokus untuk mengembangkan usaha keripik tempe ini. Gaji pesangon dari pabrik akan kugunakan untuk mengurus label halal dan juga membeli handphone khusus jualan, karena aku mempunyai rencana untuk menjual kripik secara online juga.