Bapak Rumah Tangga Sebagai Pilihan, Why Not?

                                  

Wanita kenapa harus memilih?

Statement itu merupakan statement dari salah satu aktivis muda yang terkenal sebagai wanita independen yang cerdas. Ya, siapa yang tidak mengenal jurnalis wanita yang kritis dan karismatik, Najwa Syihab. Dalam suatu kesempatan, ia melontarkan suatu pertanyaan  “Kenapa wanita harus memilih jika bisa dua-duanya?”

Memang dalam masyarakat di mana kita tinggal -Indonesia-, diskriminasi terhadap wanita masih kerap kali terjadi terkait pilihan dalam berkarir. Namun bagi saya, poin diskriminasi dalam konteks ini pada dasarnya bukanlah pada aspek “wanita harus memilih” namun “hanya wanita yang harus memilih”. Jika pernyataannya adalah “wanita harus memilih”, maka saya akan dengan lantang mengatakan “ya, wanita memang harus memilih.” Karena naluri wanita sebagai manusia yang hidup dengan pilihan, maka wanita harus memilih. Pilihan ini juga berkaitan dengan opsi apakah ia ingin menjadi ibu rumah tangga ataupun wanita karir. Memang, wanita bisa menjalani keduanya, namun bagaimanapun juga ketika ada dua buah pilihan maka tidak mungkin kedua pilihan tersebut memiliki prosentase yang tepat 50%. Ketika ada dua buah pilihan yang ekuivalen, maka pasti akan ada pilihan yang mendominasi pilihan lainnya walaupun hanya 1% meskipun kedua pilihan tersebut pada akhirnya dapat dijalani. Pasti ada bagian dari salah satu pilihan yang terkorbankan. Sehingga jawabannya, “Ya! Memang wanita harus memilih mana yang akan ia prioritaskan antara menjadi wanita karir dan ibu rumah tangga -bisa jadi yang dimaksud prioritas ini hanya sebesar 1%-.” 

Menurut saya, tidak masalah apabila wanita diharuskan memilih antara menjadi ibu rumah tangga dan wanita karir. Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kita memandang keduanya sama-sama mulia sehingga ketika seorang wanita memilih salah satu dari keduanya baik secara total maupun parsial, maka pilihan tersebut patut untuk dihargai. Dan tidak akan menjadi masalah ketika seorang wanita yang telah menempuh pendidikan yang sangat tinggi dan akhirnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, maka itu tetap akan menjadi pilihan mulia. 

Saat ini, yang menjadi masalah adalah “Kenapa Hanya Wanita yang harus memilih?”. Kenapa jarang sekali keadaan yang mengharuskan pria memilih “Apakah menjadi bapak rumah tangga atau menjadi pria karir?”. Dalam perspektif masyarakat umum, tidak adanya pilihan ini bagi para pria dipandang sebagai sebuah privilige untuk jenjang karir dan kesuksesan mereka. Tanpa adanya tuntutan untuk menjadi bapak rumah tangga dan mengurus rumah, menjadi sebuah keuntungan bagi para pria untuk terus meningkatkan dan melejitkan karir mereka. Namun, menurut saya apabila hal ini dipandang dari perspektif kesetaraan maka hal ini juga dapat merugikan sebagian kelompok pria.  Meskipun masyarakat kita dididik sedemikian rupa sehingga pria sering kali diarahkan untuk berorientasi hanya pada karir. Namun tetap saja pilihan antara pria karir ataupun bapak rumah tangga harusnya juga tetap ada.  Sama halnya dengan wanita, pilihan antara karir dan menjadi bapak rumah tangga ini tidak berkaitan dengan pilihan total saja namun juga berkaitan dengan prioritas.  

Pada akhirnya, pembahasan terkait pilihan karir atau menjadi Bapak/Ibu rumah tangga ini akan berkaitan dengan pembagian tugas yang seimbang dalam rumah tangga. Dengan adanya pilihan ini untuk kedua belah pihak, maka akan tercipta pembagian tugas yang dapat disepakati bersama, dan terbangun peran yang sama penting baik dari pihak pria maupun dari pihak wanita. Dan pastinya hal ini merupakan representasi dari persamaan hak dalam memilih baik bagi pria dan wanita. Dalam hal ini, dengan adanya pilihan ini bukan berarti menolak pria yang berorientasi pada karir terutama dalam memenuhi perannya sebagai tulang punggung dan pemberi nafkah keluarga. Hanya saja, harapannya dengan adanya pilihan untuk kedua belah pihak ini, dapat membangun fleksibilitas untuk menentukan prosentase peran masing-masing dalam ranah rumah tangga dan karir masing-masing individu. 

Salah satu kisah biografi yang paling saya suka adalah biografi dari alm. B.J Habibie, Presiden RI yang ke-3. Dalam salah satu kisahnya disebutkan bahwa sesaat setelah beliau menikah dengan kekasih hatinya yaitu Ibu Ainun, beliau memberi penawaran, bagaimana bahtera rumah tangga akan dijalani. Saat Ibu Ainun mempertanyakan maksud dari pertanyaan tersebut, Pak B.J. Habibie memaparkan bahwa, dalam suatu bahtera harus ada yang menjadi kepala dan badan. Maka beliau menawarkan kepada Ibu Ainun peranan yang ingin dijalankan dalam bahtera rumah tangga tersebut, apabila Ibu Ainun ingin menjadi pengemudi bahtera, maka Pak Habibie akan menjadi Bapak Rumah Tangga. Sebaliknya, apabila Ibu Ainun memilih Pak Habibie sebagai pengemudi bahtera maka Ibu Ainun lah yang menjadi Ibu rumah tangga.Beliau dengan sadar menjelaskan bahwa pada akhirnya harus ada yang merelakan sebagian kariranya dalam menjalankan bahtera rumah tangga ini. Maka di situ beliau menyatakan kesiapannya untuk tidak memprioritaskan karirnya dan menjadi Bapak Rumah Tangga apabila memang kesepakatannya adalah Ibu Ainun yang menjadi pengemudi dari bahtera tersebut. Namun karena akhirnya Ibu Ainun memilih Pak Habibie yang menjadi pengemudi bahtera, maka Ibu Ainun merelakan sebagian dari karirnya untuk kemudian lebih memprioritaskan wilayah domestik (rumah tangga).

Ya! pilihan itu memang ada, karena ini adalah bagian dari kehidupan. Pilihan itu ada untuk keduanya, Pria dan Wanita. 

Oleh: Fatimah Soraya - Kabid PA 2022

1 comment

  1. Bgs min